Episode 2: https://mimpililis09.blogspot.com/2019/10/gadis-impian-eps-2.
Sudah seminggu Sheila menjalani rawat inap di Rumah Sakit, teman dan ibu kos silih berganti menjaganya. Hanya Richo saja yang tidak sili berganti. Cowok keren itu hampir setiap hari berada di Rumah Sakit, demi sang pujaan hati. Entah apa istimewanya Sheila di hati Richo, hingga Richo seperti di tarik oleh magnet yang sangat kuat untuk selalu memikirkan gadis tersebut, tidak ada yang lain. Dan kondisi kesehatan Sheila pun berangsur membaik, hingga tiba waktunya meninggalkan Rumah Sakit. Richo mengurus segalanya, terutama yang berhubungan dengan administrasi. Tibalah saat berkemas meninggalkan rumah sakit.
"Sheila, kamu sudah diperbolehkan pulang, karena kondisi kesehatan kamu berangsur membaik. Ayo aku bantu berkemas, go car sudah menunggu di parkiran." ujar Richo pada Sheila yang masih duduk termangu.
"Berapa biayanya ya Ko, terus terang aku gak punya biaya sama sekali. Bagaimana aku harus membayarnya?" jawabnya dengan sedih yang membuat dahinya semakin berkerut.
"Wis beres kabeh, ayo cepat sedikit .... gak usah dipikir." jawab Richo dengan cepat.
"Siapa yang membayarnya?" Pertanyaan Sheila heran.
"Seperti kataku tadi, gak usah dipikir, kamu fokus pada pemulihan kesehatan kamu saja. Ayo .... kasihan pak go car jika harus menunggu lama." jawab Richo lagi dan memberi isyarat agar Sheila tidak bertanya lagi.
Sheila menuruti apa kata Richo, dengan mengemasi barang-barangnya iapun berpikir, siapa yang menyelesaikan semua pembayaran ini? Apa mungkin Richo? Yang hanya seorang sopir pribadi, berapa sih gajinya? belum dipotong biaya kos dan biaya hidup lainnya.
Namun bagi Richo, seorang pemuda sukses, kaya raya yang lagi menyamar sebagai pemuda biasa, uang segitu tidak ada. Apalagi buat gadis pujaan hatinya. Dia tinggal telepon sekretarisnya untuk menyelesaikan semuanya, beres. Tapi dia juga bingung seandainya Sheila menanyakan dari mana ia punya uang untuk membayar ini semua? Ah, nanti sajalah dibahas.
Tak berapa lama mereka sampai di depan kos Sheila. Seluruh penghuni beeserta ibu kos menyambutnya di pintu gerbang. Sheila terharu dengan semua ini. Dia tidak mengabarkan tentang sakitnya ini pada keluarganya, terutama ibunya, dia tidak ingin ibunya terbebani dengan cerita hidupnya di rantauan, yang ibunya tahu Sheila bekerja sambil kuliah, dan gajinya dicukupkan untuk biaya hidup dan biaya kuliahnya. Titik.
Tapi suasana siang ini di kosnya, betul betul membuat ia berderai air mata, terharu. Semua penghuni kos sayang padanya, ibarat seperti berada di tengah-tengah keluarganya sendiri, jujur ia merindukan ibunya, perempuan tua yang menghabiskan separuh usia membesarkan dia dan adiknya seorang diri, menyekolahkan hingga SMA, dengan susah payah. Hanya sanggup sampai SMA, sebatas itu kemampuan ibunya, yang dengan terengah-engah menjalaninya. Dan Sheila pun menyadari, dia dan adiknya harus mandiri, jika pingin kuliah, ia harus berusaha sendiri. Kasihan ibunya, harus pontang panting membesarkan dan menyekolahkannya tanpa bantuan orang lain.
Makanya ketika dia sakit seperti saat ini, dia tidak ingin mengabari ibunya yang tinggal jauh di sana, di Magetan Jawa Timur. Ia hanya ingin mengirim kabar yang baik-baik saja, berita gembira, hingga ibunya juga bisa bergembira di tengah rasa kangennya pada anak gadisnya. Suasana di kos hari ini benar-benar membuat hatinya di kuasai emosi, seperti diaduk aduk rasanya. Antara bersyukur berada di tengah-tengah orang-orang yang selalu menyayanginya dan menganggapnya sebagai kerabatnya, juga dia merindukan ibunya. Seandainya ibu dan adiknya ada tengah-tengah suasana ini, ah air mata ini mengalir tanpa pembatas.
Sheila bersyukur dikelilingi orang-oang yang berhati malaikat. Seperti pemuda tampan yang ada di sampingnya ini, Richo. Di matanya Richo pemuda sederhana yang ulet dalam menjalani hidup, walaupun hanya seorang sopir pribadi, namun hatinya mulia. Bagaimana tidak, dialah yang mengurus pembayaran rumah sakit yang jumlahnya tidak kecil. ah.....ditepisnya jauh jauh perasaan tentang pemuda itu. Baginya konsentrasi saat ini adalah bagaimana kuliahnya bisa selesai dengan cepat, hingga dia bisa bekerja sesuai ijazah yang kelak diperoleh, langkah selanjutnya membahagiakan ibu dan adiknya, barulah dia memikirkan kehidupannya sendiri. Dann itu masih jauuuhhh juga membutuhkan waktu yang lama.
"Hei, kok melamun," tepuk Richo ke pundaknya. "Sedang memikirkan apa nona? Habis sakit kok jadi melamun. Dengan sedikit menggoda Richo membuyarkan lamunan Sheila. "Ayo kita nikmati tumpeng yang sudah disiapkan oleh ibu kos dan teman-temanmu ini, rejeki pantang di tolak," ujarnya sambil meninggalkan Sheila menuju ruang tengah.
Baiknya orang-orang ini, menyambutku dengan tumpeng segala. Ia serasa berada di tengah-tengah keluarganya sendiri. Iapun melangkah mengikuti Richo menuju ruang tengah, dimana tumpeng itu berada. Bersama teman-temannya ia menikmati hidangan sederhana ini. teman-temannya ramai sekali, seperti bertahun-tahun nggak bertemu dengan Sheila, merekapun tertawa bahagia. Namun di sela-sela bahagia itu, ada sepasang mata tajam yang mengawasi senyum dan tawa gadis itu, ya senyum yang selama ini tak pernah dilhatnya, tawa yang selama ini tak pernah dinikmatinya. Hanya kerutan di dahi saja yang selalu dilihatnya. Ya... hari ini dia melihat Sheila tertawa bahagia, hingga lesung pipitnya yang manis menyembul, semakin terlhat aura kecantikannya. Ah, sungguh gadis itu telah menawan hatinya. Jika tiba saat yang tepat ingin rasanya mengatakan pada gadis itu bahwa ia sungguh menyayangi dan mencintainya, dan tak kan dia biarkan gadinya itu mengarungi kehidupan yang menyedihkan ini seorang diri. Calon istrinya harus bahagia bersamanya, itu tekad hidupnya. Ah kapan saat yang tepat itu tiba.
"Sheila, kamu sudah diperbolehkan pulang, karena kondisi kesehatan kamu berangsur membaik. Ayo aku bantu berkemas, go car sudah menunggu di parkiran." ujar Richo pada Sheila yang masih duduk termangu.
"Berapa biayanya ya Ko, terus terang aku gak punya biaya sama sekali. Bagaimana aku harus membayarnya?" jawabnya dengan sedih yang membuat dahinya semakin berkerut.
"Wis beres kabeh, ayo cepat sedikit .... gak usah dipikir." jawab Richo dengan cepat.
"Siapa yang membayarnya?" Pertanyaan Sheila heran.
"Seperti kataku tadi, gak usah dipikir, kamu fokus pada pemulihan kesehatan kamu saja. Ayo .... kasihan pak go car jika harus menunggu lama." jawab Richo lagi dan memberi isyarat agar Sheila tidak bertanya lagi.
Sheila menuruti apa kata Richo, dengan mengemasi barang-barangnya iapun berpikir, siapa yang menyelesaikan semua pembayaran ini? Apa mungkin Richo? Yang hanya seorang sopir pribadi, berapa sih gajinya? belum dipotong biaya kos dan biaya hidup lainnya.
Namun bagi Richo, seorang pemuda sukses, kaya raya yang lagi menyamar sebagai pemuda biasa, uang segitu tidak ada. Apalagi buat gadis pujaan hatinya. Dia tinggal telepon sekretarisnya untuk menyelesaikan semuanya, beres. Tapi dia juga bingung seandainya Sheila menanyakan dari mana ia punya uang untuk membayar ini semua? Ah, nanti sajalah dibahas.
Tak berapa lama mereka sampai di depan kos Sheila. Seluruh penghuni beeserta ibu kos menyambutnya di pintu gerbang. Sheila terharu dengan semua ini. Dia tidak mengabarkan tentang sakitnya ini pada keluarganya, terutama ibunya, dia tidak ingin ibunya terbebani dengan cerita hidupnya di rantauan, yang ibunya tahu Sheila bekerja sambil kuliah, dan gajinya dicukupkan untuk biaya hidup dan biaya kuliahnya. Titik.
Tapi suasana siang ini di kosnya, betul betul membuat ia berderai air mata, terharu. Semua penghuni kos sayang padanya, ibarat seperti berada di tengah-tengah keluarganya sendiri, jujur ia merindukan ibunya, perempuan tua yang menghabiskan separuh usia membesarkan dia dan adiknya seorang diri, menyekolahkan hingga SMA, dengan susah payah. Hanya sanggup sampai SMA, sebatas itu kemampuan ibunya, yang dengan terengah-engah menjalaninya. Dan Sheila pun menyadari, dia dan adiknya harus mandiri, jika pingin kuliah, ia harus berusaha sendiri. Kasihan ibunya, harus pontang panting membesarkan dan menyekolahkannya tanpa bantuan orang lain.
Makanya ketika dia sakit seperti saat ini, dia tidak ingin mengabari ibunya yang tinggal jauh di sana, di Magetan Jawa Timur. Ia hanya ingin mengirim kabar yang baik-baik saja, berita gembira, hingga ibunya juga bisa bergembira di tengah rasa kangennya pada anak gadisnya. Suasana di kos hari ini benar-benar membuat hatinya di kuasai emosi, seperti diaduk aduk rasanya. Antara bersyukur berada di tengah-tengah orang-orang yang selalu menyayanginya dan menganggapnya sebagai kerabatnya, juga dia merindukan ibunya. Seandainya ibu dan adiknya ada tengah-tengah suasana ini, ah air mata ini mengalir tanpa pembatas.
Sheila bersyukur dikelilingi orang-oang yang berhati malaikat. Seperti pemuda tampan yang ada di sampingnya ini, Richo. Di matanya Richo pemuda sederhana yang ulet dalam menjalani hidup, walaupun hanya seorang sopir pribadi, namun hatinya mulia. Bagaimana tidak, dialah yang mengurus pembayaran rumah sakit yang jumlahnya tidak kecil. ah.....ditepisnya jauh jauh perasaan tentang pemuda itu. Baginya konsentrasi saat ini adalah bagaimana kuliahnya bisa selesai dengan cepat, hingga dia bisa bekerja sesuai ijazah yang kelak diperoleh, langkah selanjutnya membahagiakan ibu dan adiknya, barulah dia memikirkan kehidupannya sendiri. Dann itu masih jauuuhhh juga membutuhkan waktu yang lama.
"Hei, kok melamun," tepuk Richo ke pundaknya. "Sedang memikirkan apa nona? Habis sakit kok jadi melamun. Dengan sedikit menggoda Richo membuyarkan lamunan Sheila. "Ayo kita nikmati tumpeng yang sudah disiapkan oleh ibu kos dan teman-temanmu ini, rejeki pantang di tolak," ujarnya sambil meninggalkan Sheila menuju ruang tengah.
Baiknya orang-orang ini, menyambutku dengan tumpeng segala. Ia serasa berada di tengah-tengah keluarganya sendiri. Iapun melangkah mengikuti Richo menuju ruang tengah, dimana tumpeng itu berada. Bersama teman-temannya ia menikmati hidangan sederhana ini. teman-temannya ramai sekali, seperti bertahun-tahun nggak bertemu dengan Sheila, merekapun tertawa bahagia. Namun di sela-sela bahagia itu, ada sepasang mata tajam yang mengawasi senyum dan tawa gadis itu, ya senyum yang selama ini tak pernah dilhatnya, tawa yang selama ini tak pernah dinikmatinya. Hanya kerutan di dahi saja yang selalu dilihatnya. Ya... hari ini dia melihat Sheila tertawa bahagia, hingga lesung pipitnya yang manis menyembul, semakin terlhat aura kecantikannya. Ah, sungguh gadis itu telah menawan hatinya. Jika tiba saat yang tepat ingin rasanya mengatakan pada gadis itu bahwa ia sungguh menyayangi dan mencintainya, dan tak kan dia biarkan gadinya itu mengarungi kehidupan yang menyedihkan ini seorang diri. Calon istrinya harus bahagia bersamanya, itu tekad hidupnya. Ah kapan saat yang tepat itu tiba.
#ODOPbatch7
#Day53
#Tantangan Pekan 8
#Episode 3
#Day53
#Tantangan Pekan 8
#Episode 3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar