Selasa, 29 Oktober 2019

Strategi Dagang Tetangga Depan

by: Lilis Indrawati




Tok .... tok .... tok ....., terdengar suara ketukan di pintu depan. Pasti ada seseorang yang mengetuknya, ketika aku lagi sibuk menyiapkan teh panas buat berbuka di Senin sore menjelang maghrib. 

"Ibu, bu ......" benar saja, itu suara tetangga depan rumah. Nggak hanya sekali ini saja tetangga yang satu ini nyelonong tiba-tiba ada di depan pintu. Aku nyebutnya nyelonong, karena walaupun pager sudah tergrendel tetap saja tetangga spesial ini bisa masuk.

"Iya, tunggu sebentar," sahutku dari dapur. Bergegas  kuraih kerudung di kursi ruang tengah., berjalan cepat membuka pintu dan mempersilahkan masuk. Sekilas terlihat tetangga spesial ini membawa 2 tas besar. Menebak-nebak  tujuannya datang ke rumah di sore hari. Hmmm ..... apal 😀

"Silahkan duduk  ma Daniel," begitu biasa aku memanggilnya. Ia seorang Chinesse, begitu juga suaminya. Di jalan lingkungan rumah ini penghuninya dari berbagai macam suku dan agama. Ada Bali asli, ada yang dari Jawa, dari NTT, Riau juga ada. Ada Islam, Kristen, Hindu, Budha. Bhinneka Tunggal Ika pokoknya. "Ada apa ya ma Daniel, bawa tas besar-besar ini isinya apa?" 

"Ini bu, spiku dan brownies, ibu beli ya. Papanya Daniel waktunya berobat malam nanti, dan saya belum ada uang." ucapnya sambil mengeluarkan dagangannya. Suaminya memang sudah 1 tahun belakangan ini terkena strooke, jadilah istrinya ini kerja sendiri. Sambil merawat suaminya, ia juga membesarkan anak semata wayangnya yang bernama Daniel.

Baiklah, l spiku 1, brownies 1 ya, buat teman minum teh." sahutku spontan, ketika terlihat ada logo hijau MUI di kemasannya. Karena suara adzan dari masjid yang terletak tidak jauh dari rumah mulai berkumandang, menyerukan panggilan bagi umat muslim untuk menunaikan kewajiban sholat maghrib. Suamiku yang sudah duduk manis di meja makan, pasti juga menunggu untuk segera berbuka, sebelum berangkat ke masjid.

Mengenai tetangga yang satu ini, aku hapal bener tipikalnya. Paling sering ke rumah yang tujuannya adalah nawarin dagangan. Bermacam-macam yang di tawarkan, dan dengan alasan tak kuasa menolak akhirnya memutuskan beli juga. Walau terkadang aku sendiri tidak membutuhkannya. Mungkin di mata mamanya Daniel ini aku ada sasaran yang tepat karena pasti membeli.

Pernah suatu ketika dia menawarkan microwave yang kecil kemungkinannya untuk ku beli. Pertimbangannya  adalah punya oven besar buat jualan, oven listrik juga punya, microwave walau kecil juga ada. Tapi dia tidak peduli, entah karena strategi marketingnya jitu atau karena alasan butuh duit segera, bolak-balik dia ke rumah yang selalu ku jawab tidak beserta alasannya. Kedatangan yang ke-4 kalinya dalam hari itu, dibawanya pula barangnya yang beratnya nggak ketulungan. Hingga akhirnya ku putuskan untuk membelinya, saat suamiku mengeluarkan dekritnya.

"Sudahlah beli saja, ini uangnya, kasihan juga bolak-balik." Sambil memberikan uang buat membayar microvawe itu kepadaku. Dan sampai sekarang, barang tersebut belum sekalipun di gunakan, karena tidak ada alasan untuk menggunakannya, jadi masih nangkring cantik di dapur itung-itung buat pemanis.

Lain waktu, ditawarinya televisi, alasannya selalu buat kebutuhan keluarganya, buat bayar sekolah, beli buku dan lain-lain. Yang jelas karena faktor tidak tega dan merasa kasihan, akhirnya membelinya juga. Akibatnya harus subsidi silang terhadap kebutuhan keluargaku sendiri. Pingin membantu tetangga yang lagi dibelit ketidakberuntungan hidup, itu sebenarnya alasan utama kami. Tetapi karena seringnya, itu yang membuat harus berani menolaknya kalo aku sendiripun tidak membutuhkan barang tersebut. Tidak seperti di awal-awal dulu, selalu berusaha untuk membelinya, sekarang menyesuaikan juga dengan kondisi dompet. Takutnya dompet semakin tipis sebelum gajian tiba, nah bisa masuk angin dompetnya dan meriang juga yang punya dompet. 😁






#ODOPbatch7
#Day50


1 komentar:

  1. Serba salah ya mbak jadinya. Antara mau menolong tapi keterusan dimanfaatkan. 😁

    BalasHapus

DILARANG MISKIN

Karya Masrur Makmur, M.Pd. I & Moeslih Rosyid, SH, MM Tebal Buku 230 halaman Miskin kok di larang? Sebagaimana sebuah produk, apa...