"Jam 01 malam nanti ku telepon, tolong angkatlah." Sebuah pesan WhatsApp masuk ke handphone Samsungku. Dari nomer telepon yang tidak terecord, aku bertanya dalam hati, ini siapa? Kulacak Photo Profile, tidak kutemukan photo dipasang di sana. Pertanyaanku tidak menemukan jawabannya. Dengan kepala yang terisi tanda tanya, kulanjutkan aktifitas kerjaku. Ini masih jam 03 sore, yang artinya 2 jam lagi jam kantor usai.
Dengan langkah gontai, masih penasaran dengan sosok pengirim pesan singkat ke WA ku tadi siang, aku menuju parkiran di lantai bawah gedung ini. Gelap, karena letaknya yang tertutup dengan dinding-dinding gedung. Pengap, karena posisi parkir ada di basement. Entah tiba-tiba aku merasakan sesuatu berdesir di tengkukku, ah kuanggap semilir angin dari blower disamping jalan yang kulalui. Toh tidak sekali ini saja aku menuju area parkir ini. Setidaknya bisa 4 kali dalam 1 hari aku bolak-balik melewatinya. Mungkin karena pikiranku dipengaruhi pesan WA tadi.
Kusetir mobil langsung menuju rumah, lelah dan letih tiba-tiba menguasai raga ini. Alih-alih mau mampir ke Gramedia, menempuh perjalanan yang tidak begitu jauh ini saja aku rasanya menemui kebosanan yang berujung rasa pegal menyeruak ke dalam sendi-sendiku. Tiba-tiba kurasakan desiran itu lagi, desiran di tengkuk .... persis seperti di parkiran kantor tadi. Ah .... apa pula ini, kuputar lagu-lagu dari audio di mobilku. Kutancap gas di jalanan bypass, lirik lagu "Harusnya Aku" dari Armada menemani perjalanan ini hingga gerbang rumahku terlihat.
"Syukurlah sudah datang." sapa ibuku sesampainya aku memarkir mobil. Kucium tangan ibuku yang sudah mulai keriput, menunjukkan umur yng semakin menua.
"Memangnya ada apa bu?" kuajukan pertanyaan itu, karena tak kulihat siapapun di rumah kecuali ibuku dan bi Tami, asisten rumah tangga yang setia bersama ibu.
"Nggak ada apa-apa, hanya telepon yang berdering terus dari tadi, begitu diangkat tidak ada suara dari sana. Kupikir kamu yang menelepon." jelas ibu.
"Nita nggak ada telepon kok, dari kantor langsung nyetir, pingin cepet nyampai rumah, capek dan kangen ibu." Sambil ngomong kucium pipi ibuku yang juga sudah dipenuhi guratan-guratan halus seperti tangannya ..... usia yang jauh dari sebutan muda.
"Ya sudah, cepat mandi sana, trus beristirahat. Lagipula handphone kamu kenapa, ibu telepon dari 30 menit yang lalu tidak aktif." Seru ibuku sambil menatapku masuk ke dalam rumah dan menuju kamarku.
********
Selesai mandi, kami berkumpul di ruang keluarga. Seperti biasanya kami nonton TV serial India. Ini hiburan yang jadi penyemangat ibu dan bi Tami dalam menjalani hari demi hari. Kalo sudah asik dengan serial ini, mereka berdua tidak bakalan mau diajak keluar rumah sekedar jalan-jalan menikmati indahnya kota, ataupun hanya merasakan kuliner di sekitaran perumahan tempat kami tinggal.
Kami menempati rumah yang berhalaman luas ini sekitar 1 tahunan. Merupakan rumah dinas dari perusahaan tempatku bekerja. Kuajak ibuku untuk menemani, tak kan pernah ketinggalan bi Tami yang selalu setia ngikut kemanapun ibuku tinggal. Ada kang Udin yang datang pagi dan sorenya pulang. Tugasnya membantu bi Tami mengurus dan menjaga rumah ini. Tapi sudah 3 hari ini kang Udin tidak masuk kerja tanpa ada kabar beritanya.
Usai heboh dengan serial India, akupun menanyakan lagi kepada ibuku perihal telepon tadi sore. Karena aku merasa handponeku aktif terus, tapi kata ibuku berkali-kali di telepon nadanya tidak aktif. Menggabungkan desir di tengkukku yang kualami hingga 2x, telepon aktif yang dibilang gak bisa di hubungi dan telepon di rumah yang berdering tapi tidak ada suara, membuat aku jadi takut juga lama kelamaan. Dannn bulu kudukku berdiri.
Kukuat-kuatkan hatiku, kufokuskan pikiranku, bahwa ketakutan itu adanya di dalam hati masing-masing. Ketakutan itu jangan sampai bersemayan dan bermarkas di dalam hati dan jiwa manusia. Kubisikkan kata-kata itu berulang-ulang pada diriku sendiri. Buang jauh-jauh ketakutan itu. Aku tidak menceritakan hal ini pada ibuku dan bi Tami agar mereka berdua tenang.
Jam di dinding rumahku berdentang 11 kali, berkali-kali bi Tami menguap tak beraturan saking ngantuknya. Tapi tidak berani mendahului tidur ke empuknya kasur di kamar, sebelum ibuku menyelesaikan hiburannya, serial India. Aku pamit duluan masuk ke kamar untuk beristirahat, karena besok aku harus bangun pagi dan melanjutkan rutinitas ngantor seperti biasanya.
Aku melangkah ke peraduan, dan melupakan pesan singkat di WhatsAppku siang tadi.
*******
Aku terbangun karena jam dinding di rumahku berdentang 1 kali, ya hanya 1 kali .... dan itu berarti ini sudah jam 01 tengah malam. Aku langsung teringat pesan di WA-ku tadi siang, entahlah ingat begitu saja. Belum sempat hilang rasa kaget dan heranku, tiba-tiba handphone bergetar. Sengaja kubuat getaran jika ada telepon masuk tidak mengganggu orang di sekitarku, dan sampai rumah aku lupa mengubahnya. Entah apa yang merasukiku, he he he kok jadi kayak judul lagu ya.
Dengan tangan gemetar akhirnya kuangkat juga handphoneku. Sambil aku atur dulu nafas di dadaku yang tak beraturan. Ternyata pengirim pesan WA itu menepati janjinya.
"Hallo, selamat malam. Dengan siapa ini? Dan ada apa kok telepon malam malam?" Pertanyaan itu keluar lancar begitu saja dari bibirku.
Kurasakan dari dalam handphoneku tidak ada suara apapun, hanya ada suara kresek...kresek...seperti suara gangguan signal. Semakin berdirilah bulu kudukku, ternyata aku ketakutan, ketakutan yang amat sangat. Lagi terdengar suara kresek-kresek itu semakin membesar volumenya, padahal aku tidak merasa membesarkan volume handphoneku.
"Dengan siapa ini?" Sedikit keberanian yang tersisa membawaku mengeluarkan pertanyaan ini. Dannn .... ada suara berat seorang lelaki disana, di sertai suara jeritan minta tolong seperti ada suara mobil yang menginjak rem hingga berdenyit.
Aku takut, teramat takut, reflek kubuang handphone ke kasur. Aku mundur beberapa langkah, mengatur nafas dalam-dalam dan berniat menyalakan lampu kamarku yang sedari tadi belum sempat kunyalakan. Bersamaan dengan nyalanya lampu di kamar, telepon rumahpun ikutan berdering.
Aku berlari ke arah telepon rumah itu di letakkan, .... di ruang tengah tidak jauh dari ruang keluarga tempat kami menonton serial India tadi sore. Dengan nafas yang tersengal-sengal naik turun, aku mengangkat gagang telepon sambil berharap itu telepon dari keluarga yang tinggal di luar kota.
Tapi ternyata itu suara Kang Udin, tukang kebun di rumah ini yang sudah 3 hari tidak masuk kerja.
"Halo non, ini saya Kang Udin, maafkan menelepon malam-malam." kata suara berat di seberang yang mirip dengan suara berat di handphoneku barusan.
"Iya kang, kenapa telepon malam-malam dan kenapa pula tidak menunggu pagi saja teleponnya." jawabku sekenanya. Belum sempat kulanjutkan pertanyaan yang berikutnya, dan telepon masih nempel di telingaku, aku dikejutkan dengan sesosok lelaki di pintu rumah dengan tubuh bersimbah darah, isi perut terburai tidak karuan dan tangan yang remuk, dialah kang Udin, aku masih mengenalinya dari wajahnya yang remuk tidak karuan. Juga dari baju kerja yang biasa dia kenakan ketika kerja sebagai tukang kebun di rumah dinas ini.
Dengan mata samar dan tubuh yang serasa melayang ringan, hatiku bertanya lantas siapakah yang di telepon yang sedang bicara denganku ini? Aku pun tidak ingat apa-apa lagi, pingsan.
******
Esok paginya aku terbangun dengan posisi di atas kasur kamarku, ada ibuku di sebelah ranjang dan juga bi Tami. Terlihat istri kang Udin juga ada di situ, sesenggukan menanyakan kemana suaminya sudah 3 hari tidak pulang ke rumah. Pikiranku langsung kalut tidak karuan. Aku bergegas merapikan baju dan menyisir rambutku.
Kusambar kunci mobil, kuajak ibu, bi Tami juga istri kang Udin, tujuannya Rumah Sakit terdekat. naluriku mengatakan bahwa kang Udin bisa jadi ada di Rumah Sakit tersebut dengan jasad yang tidak bisa dikenali akibat tertabrak truck gandeng ketika hendak berangkat kerja ke rumahku.
Sesampai di Rumah Sakit, terjawab semuanya, naluriku benar adanya. Innalillahiwa'innailaihi roji'uun. Semoga kamu tenang di alam sana kang. Selamat jalan. Dan kami mengurus jenazahnya hingga pemakaman, masih terbayang jelas wajah lugu kang Udin, yang sekarang tinggal kenangan. Hanya doa dari kami yang tulus ikhlas kami panjatkan.
#ODOPbatch7
#Day49
Kusetir mobil langsung menuju rumah, lelah dan letih tiba-tiba menguasai raga ini. Alih-alih mau mampir ke Gramedia, menempuh perjalanan yang tidak begitu jauh ini saja aku rasanya menemui kebosanan yang berujung rasa pegal menyeruak ke dalam sendi-sendiku. Tiba-tiba kurasakan desiran itu lagi, desiran di tengkuk .... persis seperti di parkiran kantor tadi. Ah .... apa pula ini, kuputar lagu-lagu dari audio di mobilku. Kutancap gas di jalanan bypass, lirik lagu "Harusnya Aku" dari Armada menemani perjalanan ini hingga gerbang rumahku terlihat.
"Syukurlah sudah datang." sapa ibuku sesampainya aku memarkir mobil. Kucium tangan ibuku yang sudah mulai keriput, menunjukkan umur yng semakin menua.
"Memangnya ada apa bu?" kuajukan pertanyaan itu, karena tak kulihat siapapun di rumah kecuali ibuku dan bi Tami, asisten rumah tangga yang setia bersama ibu.
"Nggak ada apa-apa, hanya telepon yang berdering terus dari tadi, begitu diangkat tidak ada suara dari sana. Kupikir kamu yang menelepon." jelas ibu.
"Nita nggak ada telepon kok, dari kantor langsung nyetir, pingin cepet nyampai rumah, capek dan kangen ibu." Sambil ngomong kucium pipi ibuku yang juga sudah dipenuhi guratan-guratan halus seperti tangannya ..... usia yang jauh dari sebutan muda.
"Ya sudah, cepat mandi sana, trus beristirahat. Lagipula handphone kamu kenapa, ibu telepon dari 30 menit yang lalu tidak aktif." Seru ibuku sambil menatapku masuk ke dalam rumah dan menuju kamarku.
********
Selesai mandi, kami berkumpul di ruang keluarga. Seperti biasanya kami nonton TV serial India. Ini hiburan yang jadi penyemangat ibu dan bi Tami dalam menjalani hari demi hari. Kalo sudah asik dengan serial ini, mereka berdua tidak bakalan mau diajak keluar rumah sekedar jalan-jalan menikmati indahnya kota, ataupun hanya merasakan kuliner di sekitaran perumahan tempat kami tinggal.
Kami menempati rumah yang berhalaman luas ini sekitar 1 tahunan. Merupakan rumah dinas dari perusahaan tempatku bekerja. Kuajak ibuku untuk menemani, tak kan pernah ketinggalan bi Tami yang selalu setia ngikut kemanapun ibuku tinggal. Ada kang Udin yang datang pagi dan sorenya pulang. Tugasnya membantu bi Tami mengurus dan menjaga rumah ini. Tapi sudah 3 hari ini kang Udin tidak masuk kerja tanpa ada kabar beritanya.
Usai heboh dengan serial India, akupun menanyakan lagi kepada ibuku perihal telepon tadi sore. Karena aku merasa handponeku aktif terus, tapi kata ibuku berkali-kali di telepon nadanya tidak aktif. Menggabungkan desir di tengkukku yang kualami hingga 2x, telepon aktif yang dibilang gak bisa di hubungi dan telepon di rumah yang berdering tapi tidak ada suara, membuat aku jadi takut juga lama kelamaan. Dannn bulu kudukku berdiri.
Kukuat-kuatkan hatiku, kufokuskan pikiranku, bahwa ketakutan itu adanya di dalam hati masing-masing. Ketakutan itu jangan sampai bersemayan dan bermarkas di dalam hati dan jiwa manusia. Kubisikkan kata-kata itu berulang-ulang pada diriku sendiri. Buang jauh-jauh ketakutan itu. Aku tidak menceritakan hal ini pada ibuku dan bi Tami agar mereka berdua tenang.
Jam di dinding rumahku berdentang 11 kali, berkali-kali bi Tami menguap tak beraturan saking ngantuknya. Tapi tidak berani mendahului tidur ke empuknya kasur di kamar, sebelum ibuku menyelesaikan hiburannya, serial India. Aku pamit duluan masuk ke kamar untuk beristirahat, karena besok aku harus bangun pagi dan melanjutkan rutinitas ngantor seperti biasanya.
Aku melangkah ke peraduan, dan melupakan pesan singkat di WhatsAppku siang tadi.
*******
Aku terbangun karena jam dinding di rumahku berdentang 1 kali, ya hanya 1 kali .... dan itu berarti ini sudah jam 01 tengah malam. Aku langsung teringat pesan di WA-ku tadi siang, entahlah ingat begitu saja. Belum sempat hilang rasa kaget dan heranku, tiba-tiba handphone bergetar. Sengaja kubuat getaran jika ada telepon masuk tidak mengganggu orang di sekitarku, dan sampai rumah aku lupa mengubahnya. Entah apa yang merasukiku, he he he kok jadi kayak judul lagu ya.
Dengan tangan gemetar akhirnya kuangkat juga handphoneku. Sambil aku atur dulu nafas di dadaku yang tak beraturan. Ternyata pengirim pesan WA itu menepati janjinya.
"Hallo, selamat malam. Dengan siapa ini? Dan ada apa kok telepon malam malam?" Pertanyaan itu keluar lancar begitu saja dari bibirku.
Kurasakan dari dalam handphoneku tidak ada suara apapun, hanya ada suara kresek...kresek...seperti suara gangguan signal. Semakin berdirilah bulu kudukku, ternyata aku ketakutan, ketakutan yang amat sangat. Lagi terdengar suara kresek-kresek itu semakin membesar volumenya, padahal aku tidak merasa membesarkan volume handphoneku.
"Dengan siapa ini?" Sedikit keberanian yang tersisa membawaku mengeluarkan pertanyaan ini. Dannn .... ada suara berat seorang lelaki disana, di sertai suara jeritan minta tolong seperti ada suara mobil yang menginjak rem hingga berdenyit.
Aku takut, teramat takut, reflek kubuang handphone ke kasur. Aku mundur beberapa langkah, mengatur nafas dalam-dalam dan berniat menyalakan lampu kamarku yang sedari tadi belum sempat kunyalakan. Bersamaan dengan nyalanya lampu di kamar, telepon rumahpun ikutan berdering.
Aku berlari ke arah telepon rumah itu di letakkan, .... di ruang tengah tidak jauh dari ruang keluarga tempat kami menonton serial India tadi sore. Dengan nafas yang tersengal-sengal naik turun, aku mengangkat gagang telepon sambil berharap itu telepon dari keluarga yang tinggal di luar kota.
Tapi ternyata itu suara Kang Udin, tukang kebun di rumah ini yang sudah 3 hari tidak masuk kerja.
"Halo non, ini saya Kang Udin, maafkan menelepon malam-malam." kata suara berat di seberang yang mirip dengan suara berat di handphoneku barusan.
"Iya kang, kenapa telepon malam-malam dan kenapa pula tidak menunggu pagi saja teleponnya." jawabku sekenanya. Belum sempat kulanjutkan pertanyaan yang berikutnya, dan telepon masih nempel di telingaku, aku dikejutkan dengan sesosok lelaki di pintu rumah dengan tubuh bersimbah darah, isi perut terburai tidak karuan dan tangan yang remuk, dialah kang Udin, aku masih mengenalinya dari wajahnya yang remuk tidak karuan. Juga dari baju kerja yang biasa dia kenakan ketika kerja sebagai tukang kebun di rumah dinas ini.
Dengan mata samar dan tubuh yang serasa melayang ringan, hatiku bertanya lantas siapakah yang di telepon yang sedang bicara denganku ini? Aku pun tidak ingat apa-apa lagi, pingsan.
******
Esok paginya aku terbangun dengan posisi di atas kasur kamarku, ada ibuku di sebelah ranjang dan juga bi Tami. Terlihat istri kang Udin juga ada di situ, sesenggukan menanyakan kemana suaminya sudah 3 hari tidak pulang ke rumah. Pikiranku langsung kalut tidak karuan. Aku bergegas merapikan baju dan menyisir rambutku.
Kusambar kunci mobil, kuajak ibu, bi Tami juga istri kang Udin, tujuannya Rumah Sakit terdekat. naluriku mengatakan bahwa kang Udin bisa jadi ada di Rumah Sakit tersebut dengan jasad yang tidak bisa dikenali akibat tertabrak truck gandeng ketika hendak berangkat kerja ke rumahku.
Sesampai di Rumah Sakit, terjawab semuanya, naluriku benar adanya. Innalillahiwa'innailaihi roji'uun. Semoga kamu tenang di alam sana kang. Selamat jalan. Dan kami mengurus jenazahnya hingga pemakaman, masih terbayang jelas wajah lugu kang Udin, yang sekarang tinggal kenangan. Hanya doa dari kami yang tulus ikhlas kami panjatkan.
#ODOPbatch7
#Day49
Tidak ada komentar:
Posting Komentar