Mas Nadim, meneleponku dengan sangat tergopoh-gopoh dari seberang pulau sana, dari jarak ratusan kilometer, yang harus di tempuh dengan perjalanan darat berjam-jam lamanya. Tidak biasanya suamiku menelepon dengan suara berat dan parau seperti ini. Aku sangat mengenalnya, luar dalam, begitu juga dengan caranya menelponku kali ini, pasti ada hal besar dan penting yang harus segera disampaikan kepadaku, istrinya yang sudah dinikahinya 15 tahun lamanya, dan memberinya 5 orang anak. Akupun jadi ikutan panik dan tidak tenang, dengan pelan ku jawab teleponnya.
"Wa'alaikumsalam, iya mas, ada apa? Tidak biasanya mas menelepon dengan berat begini?" balasku masih dengan suara sengaja pelan, untuk menenangkan suamiku juga.
"Maafkan mas ya dek, sama sekali bukan keinginan mas ini, kamu harus percaya padaku," jawabnya disertai suara parau seperti menahan tangis.
Ya Allah ... apa yang terjadi ini, sampai suamiku tidak kuasa menahan emosinya? Ada kejadian apa ini, tanyaku dalam hati. Sudah sejak 3 hari yang lalu suamiku ada urusan yang berhubungan dengan pekerjaannya di beberapa tempat di pulau seberang. Karena harus singgah di beberapa kota yang tidak memungkinkan ditempuh dengan perjalanan udara, di putuskan untuk menyetir mobil sendiri. Yang kutahu ketika berangkat suamiku ditemani salah seorang koleganya. aku selalu berpesan untuk berhati-hati dalam perjalanan, beristirahatlah jika mengantuk. Dan persis ketika aku menerima teleponnya tadi, ini hari ketiga perjalanannya.
"Tolong tenang dan bicara runut serta jelas mas, aku siap mendengarkan, ada apa? Mas sehat-sehat saja kan?' Anganku pun melayang tentang beberapa kecelakaan yang terjadi di jalan raya. Semakin gusar aku di buatnya.
"Alhamdulillah mas sehat dek, tapi ........... " suaranya tercekat.
"Tapi apa mas?" balasku dengan pikiran dipenuhi pertanyaan yang tidak karuan.
"Lima jam yang lalu, aku menyetir mobil dengan sedikit mengantuk, pikirku sebentar lagi sampai di pelabuhan dan aku bisa istirahat tidur di fery. Tapi malang tak bisa di tolak, ada seorang bapak-bapak bersepeda ontel dengan rumput diboncengannya terserempet mobilku, dan bapak itu terjatuh ke kubangan parit yang lumayan dalam. Bapak itu akhirnya meninggal beberapa jam setelah tiba di Rumah Sakit.Jadi bisa dikatakan meninggalnya bukan karena terserempet olehku, tapi karena kubangan itu." Jawab suamiku pelan, kelihatannya dia sudah sedikit tenang.
"Innalillahiwa'innailaihi roji'uun. Semoga husnul khotimah, dan keluarganya dilimpahkan kesabaran. Lanjutkan mas ceritanya, terus harus bagaimana kita?" jawabku yang mengisyaratkan bahwa kami harus menemui keluarga korban dan bicara dari hati ke hati. Bahwa semua sudah menjadi ketentuan Allah.
"Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, bapak itu memohon satu hal kepadaku, agar mau menikahi putri satu-satunya, karena dia merasa tidak akan bertahan hidup, sedangkan hanya dialah yang dimiliki oleh putrinya." Sampai pada permintaan ini suara suamiku kembali berat, tapi disini di gagang telepon yang masih menempel di telinga, hatiku yang berat, berat mendengarnya juga berat mengikhlaskan.
"Ya Allah mas, apa tidak ada jalan lain? Kenapa juga harus menikahi putrinya?" Cerocosku sambil menangis, tamgisan yang aku sendiri tak tahu ke arah mana maksud dan tujuannya. Jelas ada ketidak relaan jika aku harus berbagi suami, siapapun dia dan faktor apapun. Tidak rela. Titik.
"Ini jalan damai yang terbaik buat kita dek!" Mak jleb, kita? Kamu dan putri bapak itu kali mas, bukan terbaik buat aku. Aku sudah membayangkan putrinya itu pastilah cantik dan jelas masih muda, baru lulus dari pesantren pula, ku perkirakan usianya kisaran 20 tahunan.
"Kita? Apa maksudnya kita?" jawabku berubah ketus.
"Aku telepon ini berniat mengabari, pernikahan akan dilangsungkan tidak kurang dari 1 jam kedapan, saat ini penghulu, saksi saksi dan lainnya sudah dikumpulkan, tinggal ijab kabul, cerita lengkapnya nanti setelah tiba di rumah." Jawab suamiku terburu buru dan segera menutup telepon, tanpa menunggu apa aku ini setuju ataukah tidak.
*********
Jauh, nun jauh diseberang sana, dilangsungkanlah akah nikah antara Nadim suamiku dan Rohayah putri dari bapak yang diserempet suamiku, Kabarnya tidak ada baju pengantin maupun pelaminan. Yang ada hanya baju sehari hari yang dikenakan mereka berdua, wali nikah si bapak yang sedang sakaratul maut, ada penghulu dan beberapa saksi dari kampung bapak itu, dengan mas kawin uang tunai 1 juta rupiah. Sederhana.
Dan akhirnya pernikahan itu pun syah menurut agama, tapi belum syah menurut hukum negara ini. Perlu beberapa dokumen sebagai syarat kelengkapan, dan itu butuh waktu beberapa hari ke depan. Mereka menamakan ini pernikahan darurat yang syah karena permintaan terakhir bapak itu melihat putrinya menikah dengan orang yang dia pilih, menurut penilaian bapak itu, anaknya akan dibahagiakan hidupnya dunia akherat. Hanya dengan modal yakin pada mas Nadim, bapak itu menyerahkan putrinya, di saat terakhir hembusan nafasnya. Resmilah sepasang suami istri tersebut, Nadim dan Rohayah.
Tibalah saatnya pemakaman, dan sebagai menantu baru satu-satunya, mas Nadim memimpin ketika si bapak malang ini dimandikan, menjadi imam sholat jenazah dan menjadi orang di barisan depan di pemakaman. Rohayah menangis dan menangis, dan suami yang baru dinikahi yang juga baru dikenalnya mendekap serta memeluknya, memberikan perlindungan batin, mendamaikan gejolak hatinya ditinggalkan orang tua satu-satunya itu.
***********
Namun di sini, di rumah ini, hatiku dibakar api cemburu, ketidak relaan suamiku menikah lagi sangat jelas mengobrak abrik emosiku. Apa kekuranganku, apa dosaku, hingga ini harus terjadi padaku. bagaimana aku meyampaikan kabar ini pada keluarga besarku, pada ibuku, pada keluarga besar suamiku, pada ibunya yang sudah renta? Bagaimana aku harus bersikap pada tetanggaku, teman-temanku, ternyata suami yang selama ini aku banggakan justru membagi cinta dan hatinya pada perempuan lain yang usianya jauuuhhh dariku apalagi suamiku.
Bagimana dengan rekan-rekan kerja suamiku, pasti dalam hatinya mengolok-olok diriku sebagi istri yang tidak bisa menjaga suaminya, hingga menjadikan perempuan lain untuk dijadikan istri keduanya. Istri yang cantik, muda dan masih usia produktif, lulusan pesantren yang tentunya pandai mengaji. Malu yang tak mungkin bisa aku sembunyikan, walau di balik topeng sekalipun.
Jam berganti jam dan aku tertidur dengan tangisan sembab yang terbawa sampai mimpi, hingga menjelang pagi ada suara bel berbunyi pertanda ada orang di depan pagar rumahku, Dengan sangat enggan karena suasan hati yang begitu tidak karuan, aku bangkit, berjalan pelan meraih kunci, dan tertatih ke halaman membuka pagar. Ternyata suamiku dan istri barunya yang langsung diboyongnya ke kota kami. Entah apa rencana selanjutnya, aku malas bertanya, batinku masih berperang melawan ketidakadilan ini.
Suamiku langsung masuk dengan memperkenalkan istri keduanya padaku, Jauh di luar bayangkanku, istri yang dikenalkannya ini berjilbab panjang tanpa make up, hitam dan dekil, Bukan tipe mas Nadim, jelas sekali bukan tipe suamiku, lha iya dari ceritanya kan ini pernikahan yang sebenarnya tidak diinginkan, tapi kecelakaan itu yang membuat suamiku dengan terpaksa harus menikahinya.
"Maafkan mas ya dek, mas salah, tapi sungguh kamu harus percaya padaku." ucapnya sambil memelukku kemudian mencium kakiku. Entah mengapa emosi yang menguasaiku hari-hari kemarin sedikit menjauh dari ragaku.
"Rohayah .... kenalkan ini istriku, sambungnya pada istri barunya." Rohayah langsung mencium tanganku disertai permintaan maaf, serta menjelaskan bahwa dirinya tidak mempunya siapapun selain mas Nadim dan keluarganya yang segera menjadi keluarganya juga.
Rohayah kupersilahkan untuk beristirahat sejenak di kamar tamu yang kemungkinan menjadi kamarnya juga sementara ini, nunggu kelanjutan pembicaraan aku dan mas Nadim. Sementara Rohayah si maduku beristirahat, akau manfaatkan waktu untuk menanyakan lebih dalam dan lengkap asal muasal peristiwa ini.
Usut punya usut ternyata Rohayah ini piatu sejak lahir, ibunya meninggal ketika melahirkan dirinya. Dan dia mempunya penyakit asma bawaan sejak lahir. Sejak usia 5 tahun bapaknya memasukkannya di sebuah pesantren tidak jauh dari rumahnya, hinggah saat ini dia bisa menghapal Al-Quran, ya Rohayah adalah seorang hafizah. Waktu usia 18 tahun ia menjalani operasi pengangkatan tumor di rahimnya hingga dokter memberikan kabar bahwa sulit baginya untuk bisa mempunyai anak dari rahimnya.
Dari cerita suamiku juga aku tahu bahwa si bapak almarhum sempat menanyakan apakah suamiku sudah mempunyai istri dan juga anak? Yang langsung dijawab bahwa mas Nadim mempunya satu istri dengan dikaruniai 5 orang anak. Mendengar jawaban mas Nadim, bapak ini ikhlas menyerahkan putri tunggalnya pada sumiku dengan harapan bisa dijaga dan di bahagiakan dunia akherat, walau dengan keterbatasan yang putrinya miliki.
Aku baru tahu dan menyadari semua ini, kami merasa menjadi orang pilihan yang langsung di tunjuk Allah untuk mengemban amanah ini. Sesakit apapun aku berbagi suami dengan Rohayah, toh itu jalan takdir yang harus kami lalui, bukan hasil dari main mata, main hati apalagi niatan untuk berpindah ke lain hati perempuan lain. Penampilan dan kepolosan Rohayah menjawab sejuta pertanyaanku. Suamiku bagiku tetaplah seorang suami yang bertanggung jawab dan sangat mencintaiku, serta menyayangi keluarganya. Perasaan berdosa menyelimuti hatiku.
Akulah yang akan mengabarkan kejadian ini pada keluarga besarku dan keluarga besar suamiku, ikhlas aku menjalaninya, semoga dengan keikhlasanku ini menjadikan jalanku menuju pintu syurga terbuka lebar. Yang tadinya aku membingungkan gunjingan tetanggaku, teman-temanku, semua akan kuhadapi dengan senyuman termanis yng aku persiapkan dari sekarang.
Yang menjalani rumah tangga ini aku, suamiku, dan Rohayah ... maduku, bukan orang lain. Hanya Allah tujuanku. Dan aku pulalah yang mengusulkan agar kita tinggal serumah. Lebih gampang bagiku dan suamiku mengontrol anak-anak, apalagi sekarang ada Rohayah yang bisa di ajak sebagai mitra dalam mendidik putra putri kami yang masih kecil-kecil. Tak perlulah kami mencari guru ngaji dari luar, toh di dalam rumah kami ada seorang hafizah yang bisa mengajari anak-anak mengaji dengan ilmunya, tak perlulah aku mencari pengasuh yang berganti-ganti karena tidak sabarnya dalam mendampingi putra putri kami, toh mereka semua dalam pengasuhan ibu kandungnya dan ibu sambungnya yang nantinya juga akan menyayangi mereka dengan sepenuh hati. Aku yakin itu. Karena kamilah keluarganya sekarang dan untuk masa yang akan datang.
Akan kuajari dia bagaimana caranya merawat diri, hingga secara fisik dia pantas berdiri di samping kami, akan kuperkenalkan dia dunia dapur, hingga di mahir membuat masakan yang disukai suami kami dan anak-anak kami, akan kuajarkan bagaimana mengelola keuangan jika aku dan mas Nadim harus keluar kota untuk suatu urusan. Akan kucarikan dokter terbaik agar kanker yang pernah di deritanya tidak menjalar ke bagian tubuh lainnya, dan kuajak ke dokter kandungan langgananku, apakah ada kemungkinan dia bisa mempunyai anak dari mas Nadim melalui rahimnya sendiri. InsyaAllah, semoga Allah memudahkan semua rencana-rencanaku ini.
Dalam doa malamku, semoga lingkungan keluarga sakinah yang kami ciptakan ini bisa membuat asma bawaan Rohayah sembuh, dan dia terus diberi kesehatan hingga bisa bersama sama mendampingi suamiku dan putra-putri kami. Sungguh aku menganggapnya bukan sebagai saingan tapi aku menganggapnya sebagai adek kandungku.
#ODOPbatch7
#Day45
#Tantangan Pekan Ketujuh
#ODOPbatch7
#Day45
#Tantangan Pekan Ketujuh
Aku tetep ngeri kalau ada di posisi istrinya, ikhlaskah, relakah, hihihihi
BalasHapusSama mbak, semoga keluarga kita selalu dilindungi Allah, hingga hanya 1 istri saja
BalasHapusBerbagi yaa... beraat banget...
BalasHapusbagus Kak... ide ceritanya
salam hangat dari Kairo
Terima kasih, salam kenal balik dari Konstantinopel
Hapusmantap, keren. Dapat poin 10 dari Uncle. Harus masuk kelas fiksi berarti, Mbk. hehe
BalasHapusmakasih ya mas Lutfi, buat pemula seperti saya, ini vitamin penambah semangat.
HapusKerennn
BalasHapusmbak Dewi jauh lebih keren
HapusKeren mb ...
BalasHapuswah juara bisa bikin sepanjang ini, kereeen :)
BalasHapusKeren mba, dapet insapirasi buat nulis
BalasHapustrims
HapusBagus tulisannya
BalasHapusKeren Kakak bagus sekali #semangat
BalasHapusmatur nuwun, masih harus banyak belajar
Hapus^^ ada sedikit typo kak, di "akah nikah". semangat kak :)
BalasHapusmatur nuwun koreksinya
Hapus