by: Lilis Indrawati
Ini kejadian tahun 2001, di bulan Januari, tepat lima bulan setelah pernikahan kami. Istriku di larikan ke Rumah Sakit terdekat oleh tetanggaku. Sore hari sepulang kerja, tiba-tiba istriku pingsan setelah merasakan rasa sakit yang begitu hebat di bagian perut. Setiba di Rumah Sakit, langsung di tangani dokter bedah, dan diagnosa awal adalah usus buntu. Harus segera diambil tindakan, di operasi karena usus buntunya sudah pecah dan terjadi infeksi. Ini melihat kondisi istriku yang sebentar sadar dan sebentar pingsan. Aku sendiri tidak berada di tempat, ketika peristiwa itu terjadi. Sedang berada di kabupaten lain yang jarak tempuhnya kurang lebih dua jam dengan perjalanan mobil.
Ini kejadian tahun 2001, di bulan Januari, tepat lima bulan setelah pernikahan kami. Istriku di larikan ke Rumah Sakit terdekat oleh tetanggaku. Sore hari sepulang kerja, tiba-tiba istriku pingsan setelah merasakan rasa sakit yang begitu hebat di bagian perut. Setiba di Rumah Sakit, langsung di tangani dokter bedah, dan diagnosa awal adalah usus buntu. Harus segera diambil tindakan, di operasi karena usus buntunya sudah pecah dan terjadi infeksi. Ini melihat kondisi istriku yang sebentar sadar dan sebentar pingsan. Aku sendiri tidak berada di tempat, ketika peristiwa itu terjadi. Sedang berada di kabupaten lain yang jarak tempuhnya kurang lebih dua jam dengan perjalanan mobil.
Kabarnya, operasi siap di lakukan, hanya tinggal menunggu tanda tanganku. Aku sendiri begitu di kabari oleh tetanggaku, langsung memutuskan untuk pulang. Kami tinggal di pulau yang jauh dari keluarga, beruntungnya kami punya tetangga yang begitu baik dan peduli dengan kondisi kesehatan istriku. Namun bagaimanapun aku harus sesegera mungkin ada di samping istriku, mendampinginya dan menguatkannya. Saat itu hanya aku, suaminya yang di miliki di rantauan ini. Aku bayangkan betapa ketakutannya istriku, betapa menderitanya dengan rasa sakit di perut itu, hingga pingsan. Karena seumur umur istriku tidak pernah mengalami yang namanya pingsan. Ingin rasanya aku tancap gas kencang kencang biar secepat mungkin ada di dekatnya, menandatangani dokumen Rumah Sakit, dan operasi segera di lakukan. Tapi malam itu jalanan begitu padatnya. Sepanjang perjalanan hatiku rasanya tidak karuan, teman disampingku menguatkanku....bahwa operasi usus buntu itu operasi kecil, jadi tenang dan berdoa sama Allah.
Setiba di Rumah Sakit, aku langsung menemui istriku, kulihat wajah istriku pucat dengan kondisi fisik yang sangat lemah. Menurut hasil pemeriksaan, HB istriku ada di angka 6, HB normal manusia antara 11 - 12. Pendarahan di dalam begitu hebat, hingga HBnya turun drastis dalam hitungan jam. Aku pegangi tangannya dan membisikkan kata kata bahwa aku suaminya ada disampingnya dan mendampinginya. Istriku antara sadar dan tidak sadar. Segera ku tanda tangani dokumen Rumah Sakit. Dan operasi itu akan segera di lakukan.
Kulihat istriku di dorong ke ruang operasi, sedangkan aku, beberapa tetangga dan teman teman menunggu di luar. Menurut cerita tetangga yang kerabatnya pernah menjalani operasi usus buntu, waktu yang di perlukan untuk operasi usus buntu nggak sampai 1 jam. Aku menunggu dengan hati yang campur aduk. Setelah lewat 1 jam, istriku tidak juga di bawa keluar, tidak ada kabar dari dokter. hatiku semakin tak terkendali, antara khawatir dan ngeri membayangkan sesuatu yang buruk terjadi. 2 jam berlalu, belum juga ada kabar, dan tidak satupun dokter maupun paramedis yang keluar dari ruangan itu. Semakin tidak tenang saja hatiku saat itu.
Tiba tiba ada seorang dokter dengan langka cepat dan terlihat terburu buru menuju ruangan dimana istriku lagi di tangani. Dokter itupun masuk, kutanyakan pada suster yang ikut mendampingi dokter tersebut, bahwa itu dokter kandungan yang di panggil oleh pihak Rumah Sakit. Ya Allah...ada apa ini? Usus buntunya yang bermasalah, kok ada dokter kandungan pula yang masuk ke ruang tindakan. Sejuta pertanyaan ada di kepalaku saat itu. Tapi belum ku temukan jawabannya. Aku terus berdoa dan berdoa, semoga istriku di dalam sana baik baik saja.
3 jam berlalu, tanpa ada kabar, 4 jam berlalu, belum juga ada kabar......mendekati 5 jam, istriku di dorong keluar dari ruang tindakan. Ya Allah, selang ada di mana mana, di hidung, di tangan, dan di lain tempat. Aku berlari mendekati, istriku di bawa ke kamar yang sudah di siapkan sebelumnya. Semoga istriku kuat, aku yakin istriku tipe perempuan yang mandiri, kuat dan tidak gampang menyerah. Tidak lama berselang, aku dipanggil dokter. Dokter kandungan dan dokter bedah memberikan penjelasannya. Di samping usus buntu, ternyata ada kista, dan ada kehamilan yang terjadi di luar kandungan, tepatnya di saluran telur, ketiganya, baik itu usus buntu, kista dan kehamilan etopik istilah kedokterannya semua sama-sama pecah dan infeksi. Dalam hati aku menjerit, tapi aku harus tegar mendengar ini semua.
Karena ketiga hal itulah, dilakukanlah pembedahan tengah, ususnya di cuci dan saluran telurnya harus di potong, itu tindakan terbaik yang bisa di lakukan. Istriku memerlukan tambahan darah untuk mengganti pendarahan yang hilang. aku kontak teman teman dan adik istriku. Alhamdulillah darah dengan golongan yang sama di dapatkan. Istriku belum sadar dari obat biusnya. Aku menunggu di sampingnya dengan perasaan bingung bagaimana nantinya menyampaikan kondisi ini ke istriku, kami sama-sama menginginkan hadirnya buah hati, kehamilan istriku sangat kami nantikan. Apalagi ketika dia tersadar, yang dia sampaikan pertama kali adalah bahwa jangan jangan hamil ini. Aku tersenyum kecut, karena aku tahu apa yang terjadi dan kehamilan itu tidak ada dalam waktu dekat ini. dalam hati aku menangis.
Seminggu berlalu, tibalah istriku keluar dari Rumah Sakit, dan menjalani rawat jalan. 24 cairan infus dan 4 ampul darah membuat istriku terlihat sedikit berisi. Tiba saatnya aku harus memberi tahu yang sebenarnya, bahwa saluran telurnya yang sebelah kanan harus di angkat, karena tidak mungkin untuk di perbaiki. Secara medis, perempuan normal itu mempunyai 2 saluran telur untuk bisa di buahi. Jadi masih ada 1 lagi untuk kami bisa mempunyai anak. Ini kondisi yang tidak normal. Tangisan istriku tumpah di pundakku. Kenyataan ini harus kami alami, cobaan yang harus kami jalani di 5 bulan usia pernikahan kami.
Alhamdulillah, sekarang di tahun 2019, kami di karuniai 4 orang anak, 17 tahun, 15 tahun, 13 tahun dan 8 tahun. Kami berikhtiar dengan mendatangi dokter kandungan yang mengoperasi istriku, obat obatan dan vitamin yang di berikan membuat berat badan istriku terus bertambah, tapi itu tidak jadi masalah buatku. Ini karunia terindah yang kami terima, hadirnya 4 anak dengan 1 saluran telur. membuat kami bersyukur dan terus bersyukur. Terlebih istriku, ia seperti di beri kesempatan kedua untuk menikmati dunia ini. Saat kesadarannya waktu itu antara datang dan pergi, ia pasrah, kami pasrah jika waktu itu istriku harus berpulang. tapi Allah begitu sayangnya pada istriku dan pada keluarga kami.
#ODOPbatch7
#Day11
#Day11
Antara sedih dan bahagia membacanya. ALLAH Memang Maha Pemberi
BalasHapusbersyukur dengan karunia ini
Hapus