by: Lilis Indrawati
Siska pergi dengan meninggalkan rasa rindu dan rasa cinta yang terpendam. Rasa yang tak bisa dia ungkapkan dengan kata-kata. Rasa yang hanya bisa dia sampaikan lewat perbuatan. Hanya bening bola matanya yang menunjukkan rasa itu. Siska pergi dengan membawa luka hati, luka pada kehidupan yg tidak berpihak padanya, luka pada jodoh yang tak kunjung ia temui sesuai hatinya, luka pada perasaan yang membuat hatinya pecah, tidak hanya jadi dua, bahkan remuk redam. Entah sampai kapan bisa disatukan utuh lagi. Sepertinya tidak ada lagi pria seperti itu di jaman ini. Luka hatinya begitu dalam, dalam sekali, hingga tak ada yg bisa masuk ke relung hati sekalipun. Kekasih hatinya menikahi perempuan lain, perempuan yang sangat dikenalnya. Perempuan itu temannya sendiri, teman masa kuliah. Dialah Yusuf yang memilih menjadikan Aisyah pendamping hidupnya, dan bukan dirinya.
Siska tidak menyalahkan sahabatnya, teman di kampusnya. Aisyah tidak paham apapun tentang cerita hidup Siska, tidak mengerti kisah asmara yang terpendam dalam hati Siska, karena Siska juga tidak pernah bisa bercerita untuk mengungkapkan isi hatinya, kisah asmaranya yang terpendam pada Aisyah sahabatnya. Lidahnya terasa kelu manakala harus bercerita, kaku bibirnya harus memulai dari mana. Lantas adilkah jika sahabatnya itu dipersalahkan dalam urusan asmaranya? Aisyah gadis lugu dan polos, gadis ramah yang jelita.
Selama ini jika bertemu dengan Aisyah, dialah yang banyak bercerita tentang dirinya, bercerita tentang .kisah hidupnya. Hingga ada beberapa pemuda yang ingin menjadikan dirinya pasangan hidup. Aisyah bingung harus memilih yang mana. Semuanya memenuhi kriteria kak, ceritanya waktu itu. Dia diskripsikan satu per satu laki-laki tersebut tanpa menyebutkan namanya. Bagus juga sih tujuannya, biar lelaki yang tidak dipilihnya tidak merasa malu jikalau Siska mengenalnya. Sama sekali tidak ada pikiran ada nama Yusuf dalam rangkaian cerita Aisyah.
Hingga suatu malam, Yusuf datang ke rumah Siska dengan memperkenalkan Aisyah sebagai calon istrinya. Mereka menyerahkan undangan pernikahan. Tanpa melalui proses perkenalan yang panjang, mereka berdua saling cocok dan memutuskan memulai hidup sebagai sepasang suami istri, remuk redam rasanya, seolah dunia gelap gulita di tengah cahaya listrik yang terang benderang. Tak kalah kaget dengan keluarga Siska yang lain, ayah ibunya, kakak adiknya. Meraka selama ini sudah menganggap Yusuf sebagi calon menantunya, kakak dan adiknya sudah menganggap Yusuf sebagai saudara iparnya. Walaupun diantara Siska dan Yusuf sendiri tidak ada komitmen bahwa mereka sepasang kekasih. Keluarga mereka merasa dengan kebaikan yang dimiliki Yusuf, sifat tolong menolongnya pada keluarga tersebut, tempat mereka mengungkapkan masalah-masalah kecil dan besar, itu cukup membuat Yusuf mengerti dan faham bahwa mereka menunggu lamaran itu datang pada keluarga ini, lamaran untuk Siska, tapi ternyata tidak itu tidak terwujud, malah undangan pernikahanlah yang datang.
Yusuf adalah sosok pria yang baik, tindak tanduknya santun, tak banyak tingkah namun bicaranya tegas. Yusuf sosok pria yang bertanggung jawab. Karena faktor inilah yang membuat Siska jatuh hati, namun sebagai perempuan dia tidak berani mengungkapkan. Siska merasa jika segala sesuatu urusan hidupnya, dia sampaikan ke Yusuf dan Yusuf bersedia membersamai, Siska merasa itu sudah cukup menunjukkan bahwa ada "balutan rasa" cinta di hatinya buat Yusuf, walau sebenarnya tidak ada ikrar atau komitmen diantara mereka berdua. Siska menganggap bahwa cinta tak harus diungkapkan dengan kata-kata, namun tidak begitu bagi Yusuf, bahwa sikap baiknya ini tidak lebih pada hubungan antar tetangga, antar manusia yang sudah sepatutnya untuk saling tolong menolong baik dalam suka maupun duka. Begitu baiknya Yusuf hingga dia tidak mengungkapkan kepada Siska dan keluarganya bahwa ada wanita lain yang mengisi sudut hatinya, mengisi ruang hampa asmara dengan penuh cinta kasih.
Terlalu berlebihan jika menganggapnya sebagai kekasih hati, Yusuf terlalu baik, hingga tak ingin menyakitinya, tak ingin menyampaikan penolakannya, tapi dia tak mau mengingkari hatinya, bahwa Yusuf tidak mencintai Siska sebagai kekasih, dia hanya menyanyangi Siska dan keluarganya sebagai kerabat jauh yang tidak ada hubungan darah, kerabat se kota yang harus meluangkan waktu dan tenaga untuk tolong menolong. Tidak lebih dari itu.
Kini dua puluh dua tahun berlalu, usianya sudah tidak muda lagi, Siska tak kunjung mengakhiri masa lajangnya, masa kesendiriannya. Dadanya tetap bergetar jika mendengar kabar tentang Yusuf. Rasa cintanya dipelihara baik-baik. Siska tidak bahagia setiap mendengar kabar tentang Yusuf dan keluarga kecilnya, dan tidak mau pura-pura bahagia. Rasa itu disimpan begitu dalam, Siska menenggelamkan diri pada pekerjaannya, hingga tertutup hatinya untuk bisa menerima pria lain selain Yusuf. Cinta Yusuf telah bertahta di hatinya. Siska masih berharap bisa menjadi pendamping hidup Yusuf. Tapi mungkinkah? Siska merasa bahwa hatinya terborgol oleh pria itu, dan hanya Yusuf yang pegang kunci borgol di hati Siska.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar