Selasa, 24 September 2019

Sepatu Bolong

by: Lilis Indrawati



Dia berlari-lari kecil, menyusuri jalanan yang mulai ramai oleh lalu lalang kendaraan. Nafasnya ngos-ngosan, naik turun tak beraturan. Kelihatan bulir-bulir keringat mulai hadir di wajahnya tanpa bisa di halau. Entah mengapa hari ini dia kesiangan, hingga harus terburu buru seperti ini. Padahal dia sudah bangun pagi, sama dengan hari-hari sebelumnya. Ah .... tak usalah di pikir, yang terpenting dia tidak terlambat sampai di sekolah.

Dia terus mempercepat jalannya, lalu lalang orang yang melewati jalanan ini sedikit menghambat langkahnya. Dia lirik jam tangan perempuan di sampingnya, waktu sudah menunjukkan pukul 06.43 WIB. Masih ada 17 menit lagi untuk bisa sampai di sekolah, ada sedikit kelegaan dalam desahannya. Agak santai laju kakinya melangkah, sambil menata nafasnya, ia melihat ke bawah, ke arah sepatu yang di kenakan. Sepatu kesayangan dan satu satunya, hanya ini yang bisa dibelikan emaknya setelah harus nabung beberapa hari menjadi buruh tani di sawah. Itupun bukan sepatu baru yang bisa di bayar dengan uang emak. Oh emak .... kasihnya mengobarkan semangat untuk bersekolah.

Dari jauh kelihatan gerbang sekolahnya, banyak teman-temannya yang juga sama terburu buru, jalan kaki seperti dirinya, ataupun diantar dengan sepeda motor maupun mobil. Dia keluarkan sapu tangan  lusuh dari tasnya yang mulai memudar warnanya. Dia usap mukanya yang bekeringat dengan sapu tangan itu. Bagaimanapun dia harus kelihatan segar, walau beban hidup yang ditanggungnya berat untuk anak seumur dia, biarlah itu menjadi rahasia hidupnya.

Gerbang sekolah hampir ditutup ketika dia melangkahkan kaki memasukinya. Bergegas dia berlari masuk ke kelasnya. Sudah mulai penuh kelasnya, dia lepaskan sepatunya, sepatu warna hitam, bergaris putih yang ditutup dengan goresan spidol berwarna hitam. Dia letakkan  dengan sangat hati-hati di antara jejeran sepatu teman temannya. Kelihatan berbeda dengan yang lain, berbeda bukan karena bagusnya, tapi berbeda karena usangnya. Hai .... kenapa pula memikirkan sepatunya yang berani tampil beda, lebih baik konsentrasi ke pelajaran hari ini. Biar cita-citanya membahagiakan emaknya terwujud.

Tepat pukul 12.15 WIB bel berdentang. Pertanda jam pelajaran hari ini usai. Perutnya mulai keroncongan, kukuruyuk ... persis seperti suara ayam di pagi hari, keroncongan. Lapar yang dirasakan membuat dia bergegas meninggalkan sekolah, menyusuri jalanan yang tadi pagi dilaluinya. Bayangan harum ikan asin masakan emak yang menjadi menu kesukaannya, mulai mengganggu pikirannya. Jalannya semakin di percepat, dannn ups .....  dia merasakan sakit di telapak kakinya. Serasa telapaknya langsung menginjak kerikil jalanan, sakiiiittt. Dia hentikan langkahnya, melepas sepatunya, dia jinjing dengan kedua tangannya. Pelan pelan dia berjalan, bayangan ikan asin semakin jauh, dia harus pelan pelan melangkahkan kakinya.

Lagi dan lagi, sepatunya enggan diajak bekerja sama. Dia memikirkan bagaimana cara menambal dan menjahit sepatunya. Rasa lapar ditambah terik matahari yang pas di atas kepalanya membuatnya semakin lapar dan haus. Sepatu bolong, itu juga yang membuat dia berlari lari ke sekolah tadi pagi, harus menambalnya terlebih dahulu, sebelum berangkat. Namun, ini tak menyurutkan keamuannya untuk bersekolah, cita-cita ingin menjadi orang pinter dan membahagiakan emak, mengalahkan sepatunya yang bolong.





#ODOPbatch7
#Day16

2 komentar:

  1. Tetao semangat... Untuk menggapai sukses memang perlu mendaki bukit nan terjal.. curam.. berliku.. Orang bijak berkata the man who wellcomes happiness must also wellcomes sorrow... Keep on fighting

    BalasHapus
  2. Thanks for share, kunjungi juga http://bit.ly/2ZVG0SF

    BalasHapus

DILARANG MISKIN

Karya Masrur Makmur, M.Pd. I & Moeslih Rosyid, SH, MM Tebal Buku 230 halaman Miskin kok di larang? Sebagaimana sebuah produk, apa...