Oleh : Lilis Indrawati
Cerpen Karangan : Tri Mulyati
Kategori : Cerpen Sejarah
Lolos Moderasi pada : 07 November 2019
Tema
Tema konflik batin yang di alami tokoh aku dalam cerita ini membuat rasa penyesalan sepanjang sisa hidupnya. Penyesalan terhadap keputusannya yang ia sebut sebagai keserakahan. Keserakahan yang membuat teman seperjuangannya di masa penjajahan dulu tewas di tangan serdadu Belanda. Penyesalan yang membawa dirinya selalu menabur bunga setiap tanggal 17 Agustus di tempat tertembaknya sang teman dahulu yaitu di benteng Van Der Wijk yang sekarang sudah berubah menjadi bangunan megah, objek wisata sejarah kebanggaan warga. Konflik batin ini ia rasakan sendiri, tanpa ada yang tahu termasuk anak-anaknya. Seandainya ia tak terlalu serakah dengan menyuruh Parto temannya yang berwajah peranakan Indo-Belanda untuk kembali mengambil beberapa karung lagi bahan makanan, mungkin Parto bisa ikut menikmati perjuangannya. Ah seandainya waktu bisa di putar ulang, ia ingin membalikkannya kembali. Mengubahnya menjadi cerita yang berakhir bahagia, happy ending. Tapi sayangnya tidak bisa. Dan penyesalannya semakin bertambah ketika sekedar menabur bunga pun tak bisa lagi ia lakukan.
Alur
Alur maju secara runut dari tahap awal, tahap tengah hingga tahap akhir, dengan flash back menarik membuat pembaca bisa menangkap dan memahami isi dari cerita ini.
Latar
Benteng Van Der Wijck yang saat itu masih menjadi benteng logistik, gudang pangan dan perbekalan untuk Puppilen School atau Sekolah Calon Militer Tentara Belanda, saat ini bersalin rupa menjadi gedung yang gagah, berwarna merah menyala, menjadi objek wisata sejarah kebanggan warga. Sebelum menjadi gedung yang megah seperti ini sebelumnya dari Pupillen School, berpindah ke KNIL, beralih fungsi menjadi barak TNI, lalu dibiarkan bertahun-tahun merana, mangkrak, dan kurang terawat. Sempat menjadi sarang burung walet, dan kini bersalin rupa menjadi gedung yang gagah, berwarna merah menyala, menjadi objek wisata sejarah kebanggaan warga
Tokoh dan Perwatakan
Ada 4 tokoh dalam cerita ini, yaitu:
Yang Pertama adalah tokoh aku, sang pelaku sejarah, yang setiap tanggal 17 Agustus akan datang ke tempat ini, tempat yang dulunya adalah benteng Van Der Wijck. Tidak peduli panas, hujan, atau badai sekalipun. Tak akan pernah menghalanginya untuk kembali. Selama nyawa di kandung badan dan kepikunan belum menggerogoti.
Yang Kedua adalah tokoh Parto, juga pelaku sejarah yang tewas karena keserakahan tokoh pertama (aku). Parto meninggal karena tertembak serdadu Belanda, ketika mengambil bahan makanan dan senjata. Wajah Parto yang lebih mirip orang Belanda karena ia peranakan Indo-Belanda, membuatnya bisa bebas keluar masuk lingkungan Belanda.
Yang Ketiga adalah anak-anak dari tokoh pertama, yang selalu mengingatkan si bapak bahwa usia sudah semakin tua. Untuk apa piknik dan piknik lagi. Dan selalu bertanya untuk apa si bapak melakukan semua ini, karena orang-orang pada melihat dan mengira mereka adalah orang aneh.
Yang Keempat ada petugas cleaning service, yang merasa keberatan dengan ulah si bapak dengan menebar bunga di di tempat ia bekerja, yang dulunya adalah benteng Van Der Wijck.
POV
Pont Of Viewnya terletak pada penyesalan salah satu tokoh yaitu tokoh pertama (aku). Karena keserkahannya, hingga mengakibatkan Parto tewas di tembak oleh serdadu Belanda. Seandainya tokoh aku tidak menginginkan lebih banyak bahan makanan, pasti parto akan bisa menikmati perjuangannya. Seandainya saja waktu bisa diputar ulang, aku ingin membalikkannya kembali, mengubahnya menjadi cerita yang berakhir bahagia, happy ending.
EBI
Secara umum penulis sudah sangat memahami dengan menggunakan ejaan dengan sangat baik dan tepat. dibuktikan dengan lolosnya cerpen ini di Cerpenmu.com
Klimaks Dalam Cerpen
Secara keseluruhan saya menikmati cerita ini. Konflik batin yang mengakibatkan rasa bersalah dan penyesalan sepanjang sisa usia sang tokoh utama, pembaca seperti saya dapat dengan mudah larut di dalamnya seakan ikut merasakan rasa penyesalan itu.
Namun ada sedikit rasa kurang puas ketika nama sang tokoh pertama tidak disebutkan. Juga tempat tidak dijelaskan secara detail dan gamblang. Hanya ada sebuah petunjuk yaitu benteng Van Der Wijck. Walaupun pembaca akhirnya tahu dimana letak tempat tersebut, tapi alangkah lebih memuaskan apabila di sebutkan nama tempat dimana cerita bersejarah itu di ceritakan. Benteng yang sekarang menjadi objek wisata kebanggaan warga, alangkah baiknya juga di sebutkan namanya.
#Tugas Ulas Cerpen Hisfic
#ODOPbatch7
Teks Cerpen
Menebus Dosa Masa Lalu
Setiap tanggal 17
Agustus, aku akan datang ke tempat ini. Seperti ada kewajiban yang
mengharuskanku untuk kembali. Tak peduli panas, hujan, atau badai sekalipun.
Tak akan pernah menghalangiku untuk kembali. Selama nyawa di kandung badan dan
kepikunan belum menggerogotiku.
“Bapak, Bapak sudah
semakin tua. Untuk apa piknik dan piknik lagi?” tanya anak-anakku. Aku hanya
tersenyum. Mereka tak akan mengerti. Ini bukan piknik, tapi hukuman yang harus
kujalani. Penjara untuk menebus kesalahanku. Hingga kini, aku belum mampu
bercerita pada mereka, kenapa aku datang ke sini setiap tahunnya. Aku
menyimpannya untuk diriku sendiri.
Setiap datang aku
akan memandangi benteng Van Der Wijck yang kini berdiri megah. Menabur bunga di
salah satu pintunya. Terpekur menatap ke satu titik. Mengenang cerita lara yang
harus kusandang selama sisa hidupku.
”Untuk apa Bapak melakukan ini? Orang-orang melihat pada kita, Pak. Mereka
mengira kita aneh.” Kalimat itu sudah berkali-kali terlontar dari mulut
anak-anakku. Mereka tidak tahu seberapa besar arti benteng ini bagiku.
Aku mengawasinya
setiap saat. Menjadi saksi sejarah segala perubahannya dari zaman ke zaman.
Sejak masih menjadi Puppilen School, berpindah ke KNIL, beralih fungsi menjadi
barak TNI, lalu dibiarkan bertahun-tahun merana, mangkrak, dan kurang terawat.
Sempat menjadi sarang burung walet, dan kini bersalin rupa menjadi gedung yang
gagah, berwarna merah menyala, menjadi objek wisata sejarah kebanggaan warga.
Semuanya tak luput dari penglihatanku.
Memang sudah puluhan
tahun berlalu. Namun, rekaman peristiwa itu masih melekat erat di ingatanku.
Saat sahabatku merenggang nyawa, tertembak mati di salah satu pintunya. Semua
itu salahku. Aku yang paling pantas disalahkan. Seandainya saja bisa diputar
ulang, aku ingin membalikkannya kembali. Mengubahnya menjadi cerita yang
berakhir bahagia, happy ending.
Saat itu benteng Van
Der Wijck masih menjadi benteng logistik, gudang pangan dan perbekalan untuk
Puppilen School atau Sekolah Calon Militer Tentara Belanda. Malam ini aku dan
Parto berhasil menyusup ke areal Benteng Van Der Wijck ini.
Parto, seorang
peranakan Indo-Belanda. ibunya wanita pribumi, ayahnya serdadu Belanda tapi tak
tahu rimbanya. Fisiknya yang lebih mirip orang Belanda, membuatnya bisa bebas
keluar masuk lingkungan Belanda. Mengambil bahan makanan ataupun senjata tanpa
dicurigai musuh. Sementara aku akan menunggu di luar, bersembunyi di semak
belukar.
Malam itu, di tanggal yang sama seperti hari ini, 17 Agustus, Parto sudah
berhasil mengambil sekarung beras. Seharusnya itu sudah cukup. Harusnya kami
kembali ke perkampungan. Tapi, aku memaksanya masuk kembali.
“Kenapa hanya
sekarung, kalau bisa membawa berkarung-karung,” kataku meyakinkannya.
“Tapi, sangat berbahaya. Mereka bisa curiga kalau aku mengambil terlalu
banyak,” tolak Parto.
“Ah, kamu terlalu pengecut! Tak punya nyali!” ejekku.
Masa Agresi Milter
kedua, kelaparan semakin meluas. Sejak perjanjian Renville ditandangani,
penduduk di barat sungai Kemit yang termasuk territorial Belanda kekurangan
pangan. Daerah timur sungai yang menjadi lubung padi tak bisa lagi menjual
hasil panennya ke barat. Sementara di lain pihak, gudang-gudang pangan Belanda
penuh berkarung-karung makanan.
Dengan fisiknya yang
seperti Belanda, kami memanfaatkannya untuk menjadi mata-mata, menyusup ke
tangsi-tangsi Belanda, mencuri bahan pangan dan persenjataan. Tapi,
sepandai-pandai tupai melompat, ada kalanya akan jatuh juga.
Tiba-tiba, entah apa yang terjadi di dalam sana. Terdengar teriakan-teriakan
keras dalam bahasa Belanda. Aku terpaku.
“Je bent niet de
Nederlandse!” teriak serdadu Belanda sambil menodongkan senjatanya pada Parto.
Sepertinya serdadu itu telah mencurigai Parto sebagai Belanda gadungan.
“Ik ben van de Nederlandse,” jawab Parto. Ia tetap mengaku sebagai orang
Belanda.
“Je bent niet de Nederlandse!” teriak Serdadu itu semakin marah.
Mereka
berbantah-bantahan. Entahlah, mungkin sedang sial, tiba-tiba saja aku tak bisa
menahan keinginan untuk bersin. Haajjiin.. Serdadu itu melihatku. Menembakiku
dengan berondongan peluru. Aku berlari menyelamatkan diri di antara semak
belukar. Meninggalkan sahabatku sendirian.
Itulah terakhir
kalinya aku melihat Parto. Mayatnya bahkan tak pernah ditemukan. Sahabatku
terjebak di kandang musuh karena keteledoranku. Seandainya aku tak terlalu
serakah. Mungkin Parto bisa ikut menikmati perjuangannya. Menikmati kebebasan
yang kami rindukan. Kita sudah merdeka. Kita sudah bebas dari penjajahan. Berulang-ulang
kuucapkan kalimat itu. Aku yakin Parto mendengarnya di atas sana.
“Eh, Maaf, Mbah!
Jangan mengotori tempat ini! Tolong! Nanti saya bisa dimarahi supervisor,” kata
seorang petugas cleaning service yang melihatku hendak menabur bunga di pintu
itu.
“Ayolah, Pak. Jangan sampai kita diusir dari sini karena membuang sampah
sembarangan!” bisik anakku membuatku miris.
Ya, zaman telah berganti, musim terus berputar. Semuanya telah berubah. Bahkan,
sekadar menaburkan bunga pun tak bisa lagi kulakukan.